Selasa, 17 Mei 2016

Bagian dari Mengampuni Diri Sendiri

Tanggal 16 Mei terulang setelah kurang lebih 365 hari terlewati. Satu tahun yang terasa cukup lama. Satu tahun yang terasa cukup berat. Tapi terlewati.

Bukan perkara mudah untuk melupakan, bukan perkara mudah untuk meredakan (memaafkan). Rasa-rasanya terlalu bohong bagiku bahwa selalu senyum yang aku tawarkan. Tapi terlewati.

Pada akhirnya menghadapi secara langsung yang kemudian menjadi racun sekaligus obat bagi si pesakitan. Dengan bantuan seorang kawan, justru pahit akhirnya aku hadapi, justru getir yang harus dirasai, sebelum hal itu menjadi penyembuh. Pelajaran terbaru; tak seharusnya aku selalu lari dari apa yang aku anggap menyakitkan. Karena sesungguhnya dibalik beberapa yang menyakitkan itu ada kesembuhan.

Di masa berakhirnya perjalanan setahun ini aku juga dihadapkan pada pengertian bahwa semua orang punya kemungkinan untuk menyakiti orang lain, baik disengaja maupun tidak, baik diingini maupun tidak, baik disadari maupun tidak. Sebuah keniscayaan bahwa bisa saja aku menyakiti orang lain, seperti yang terjadi di aku. Semenjak saat itu aku menyadari, ternyata aku tidak berhak menghakimi terlalu dalam atas yang terjadi. Karena meski sulit dipahami, potongan-potongan takdir lain juga ikut serta dalam apa yang terjadi di hidupku. Bukan hanya sekedar takdir dia dan dia. Jadi, aku juga tak berhak menimpakan semua kemarahan kepada keduanya.

Sedikit terselip pemahaman yang (mungkin) baik untuk diriku, bahwa tidak terlalu lama berdiri di depan pintu mungkin itu baik bagi aku. Dengan begitu tidak terhalang pujaan yang hendak bertamu. Walaupun kadangkala justru aku yang menutup pintu, dulu. Semoga tidak lagi.

Dengan setahun yang telah terlewati, pun aku tidak akan terlalu berbudi untuk mengucap doa baik bagi dia dan dia. Pun doa buruk, tidak akan lagi. Bukan kewenanganku. Hanya meminta diberikan kedamaian dan pemahaman yang lebih lagi. Untuk aku sendiri kehidupan baru, harapan baik yang baru, dan dijauhkan dari perihal menyakiti dan disakiti. 

Sebelum nantinya akan kembali bersua, meski tak ada niat bersapa, aku berharap saat itu aku akan berada dalam posisi sebaik-baiknya aku. Mengagumi lebih lagi sang Maha, menikmati hidup yang aku jalani, mensyukuri berkah yang aku miliki, mencintai jiwa-jiwa setia di hidupku, dan menjadi versi terbaik dari aku.



Solo, 17 Mei 2016.

1 komentar:

  1. Hal buruk tak kan terhindarkan, tapi hal baik juga jumlahnya tak terhingga. Alih-alih mengancurkan diri sendiri karena kesalahan di masa lampau, lebik baik mencoba membuka diri dan melakukan hal yang baru. Jatuh, berdiri lagi. dibuang, perbaiki lagi. Lika-liku kehidupan ini tak sebaik Bapak/Ibu mu yang selalu menyemangatimu ketika jatuh. Perlu dipikirkan lagi, apalah artinya diri ini, matipun paling tak lama dikenang, habis itu hilang ditelan zaman. Yooowww.. makanya kita sendiri yang harus berfokus dengan seberapa banyak yang kita lakukan, mengingat waktu kita yang tak banyak. Hmmmm.. dan aku yakin sekali, pada akhirnya kebaikan akan bertemu pula dengan kebaikan. Tak perlu banyak dipikirkan. Terus maju mbaaaak! Pasti bertemu dengan kebaikan! Kamu selalu luar biasa sejak pertama kali ku kenal! Hehehe.. Sorry ya kalau aku ngawur bicaranya.

    BalasHapus