Kamis, 30 Oktober 2014

Cahaya yang Menemani

Sore ini gerimis kecil menemani matahari yang setengah tenggelam di ujung barat, ketika Angga berlari pulang ke rumah. Bajunya yang telah kotor sehabis berlatih sepak bola menempel nempel di kulit membuatnya risih. Tinggal dua belokan lagi maka dia akan sampai di rumah. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia mendengar samar suara sesenggukan. Bola matanya mencari sumber suara. Nampak siluet bocah kecil duduk di dalam pos kamling tak berpintu sebelum tikungan. Lampu pos yang mati membuat sosok di pojok itu hampir tak terlihat. Hanya sedikit sinar lampu jalan yang masuk ke ruang 2x2 m itu. Angga mengenalinya, namanya Aji, bocah kecil anak penjual gorengan. Mereka belum pernah bertegur sapa sebelumnya meskipun usia mereka tak terpaut jauh. Angga hanya mengetahui nama bocah itu dari seorang satpam di kompleks rumahnya. Sementara itu, dari tempat Angga berdiri nampak bendera putih baru saja dipasang di depan rumah kecil berdinding bata merah. Dia tertegun. Itu rumah Aji. Angga terdiam sejenak, ragu harus bagaimana. Sejurus kemudian dia berlari, meninggalkan si bocah kecil sendirian di ruang gelap itu.


***

Angga membuka gerbang rumahnya sekuat tenaga, kemudian berlari sekencang-kencangnya sambil menahan air mata. Melewati satu belokan kemudian keluar dari kompleks perumahan. Sampai di belokan kedua langkahnya melambat, kakinya sudah tidak kuat berlari lagi. Tinggal gontai dibarengi sesekali isakan kecil yang tak bisa ditahan. Langkahnya terhenti di depan pos kamling. Dia teringat bocah kecil yang menangis di sana seminggu yang lalu. Lampu kuning jalanan masih tak sanggup menerangi ruang kecil itu. Angga memutuskan untuk masuk ke sana. Duduk di pojokan yang sama. Mendengarkan senyap jalanan kosong ba'da isya. Sejenak memandang ruang kosong itu, memandang kesendiriannya. Kemudian matanya kembali berair, kepalanya kembali berat. Angga menenggelamkan wajahnya dalam lipatan dua tangannya yang basah. Tiba-tiba cahaya masuk ke sela-sela lipatan tangannya yang sontak membuatnya mengangkat wajah. Aji berdiri dengan kaos biru lusuh dan celana hitam kebesaran. Dia membawa lampu petromaks yang seketika membuat ruang kecil itu menjadi terang. Aji memandang wajah Angga sejenak, kemudian naik ke atas lantai keramik di muka pos kamling dan menyilakan kakinya. Lampu petromaks disodorkan ke arah Angga. 
"Ini lampu, supaya kakak tidak kegelapan. Ini aku temani, supaya kakak tidak sendirian," Aji terdiam sesaat, "Mmm...mungkin ibuku juga baru saja menemui ibu kakak, kakak tenang saja, ibuku pasti akan menemani ibu kakak di surga sana."

#SehariMenulisSatu #Day10 #Lampu #Swaragamafm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar