Selasa, 09 April 2013

Cukup (Sekali Saja)

"Hai, bagaimana sidangmu?"

Ya, aku dulu yang memutuskanmu. Bahwa kita tidak bisa lagi bersama. Bahwa kamu terlalu asik mencari pelarian sementara aku terlalu asik dengan studiku.


Kemudian datang gadis itu, perempuan cantik dengan kesabaran yang luar biasa yang mampu dan mau menerima sifatmu. Aku pun menemukan pria itu, pria dewasa yang menjanjikan kenyamanan. Dan sejak itu aku putuskan untuk tetap menjaga keadaan ini, walaupun kadang datang godaan besar untuk sekedar menyapamu duluan. Dan masih terjaga hingga saat ini, kamu dengan gadismu, aku dengan priaku.

Hanya socmed tempat berkabar. Tidak langsung tentu saja. Entah memang kamu sengaja atau hanya aku yang kegeeran dengan apa-apa yang kamu tulis di socmedmu. Seperti kamu sedang berbincang denganku. Rasanya menyenangan, kamu tahu?


Ya, aku rajin sekali mengamatimu, memata-mataimu. Selain lewat socmedsekali dua kali kamu menghubungiku duluan, sekedar bertegur sapa, berkirim pesan.



Kabarmu terakhir tentang sidangmu. Sidang sarjanamu. Sebentar lagi, katamu kemarin dulu. Sudahkah? Sudah resmi dengan titel insinyur mesin-kah? Titel yang kamu damba-dambakan, karena katamu gadis-gadis banyak yang memuja pria teknik. Tak aneh, mengingat kesenanganmu dengan banyak wanita.

Kini aku yang penasaran. Aku mengirim pesan kepadamu. Berani benar aku, hah? Ini rasanya seperti seorang anak kecil yang memiliki permen di kantongnya, sedangkan ibunya melarang makan permen. Makketika ada kesempatan ibunya lengah, bocah itu akan segera melahap bulatan manis itu. Sepertiku setelah sekian tahun hanya diam, menunggumu menghubungiku terlebih dahulu. Berusaha tetap dalam sadarku bahwa ada priaku dan gadismu. Makketika ada alasan untuk menghubungimu, maka aku lakukan. Sebenarnya ya aku tak berhak lagi. Aku tahu kau ini telah bersama gadis itu. Tapi salahkah jika akjuga ingin bertanya kabar? Seperti yang sering kau lakukan kemarin dulu.

Lalu jawabmu?

Kamu tak menjawab pesanku.

Ketikkekhawatiranku bahwa pesanku tak sampai, kemudian kuulangi lagi dan kupastikan dengan mataku bahwa pesan itu terkirim. Dan sekali lagi tak ada balasan. Bahkan tak ada tanda-tanda kamu menyinggung pesanku di akun-akun socmedmu.

Seketika aku merasa kalah, kalah dan bodoh. Dan aku merutuki diriku sendiri atas kenekatanku.

Kamu masih selalu berhasil menjungkir balikan perasaan wanita, sepertinya. Kamu tahu, kamu curang. Saat aku memberanikan diri bertanya, kau tak menawab pesanku. Lalu tak berartikah balasan dari pesan-pesan yang kamu kirim padaku selama ini?

Ah, mungkin kini hatimu telah mencair, kamu menjaga perasaan gadismu. Dan aku yang merutuki diri sendiri, mengapa bukan perasaanku yang dulu kamu jaga.

Ah, aku tidak boleh seperti ini, apa jadinya bila priaku tahu jika aku menghubungimu? Bukankah aku akan sama tingkahnya dengan "kamu yang dulu". Sudah-sudah, kisah ini harus disudahi. Aku anggap memang sudah berakhir dan tak akan ada lagi. Tak akan ada kebodohanku lagi.

Akhirnya aku hanya ingin mengatakan selamat, jika memang telah kau raih titelmu, selamat untuk kesetiaan atas gadismu saat ini. Dan satu lagi, selamat telah membuatku merasa menjadi wanita bodoh.




http://favim.com/rain/page/5/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar